Wacana
tentang usulan kenaikan harga rokok per bungkus menjadi Rp 50.000 akhir-akhir
ini membuat pecinta rokok di Indonesia gempar dikarenakan kenaikannya yang
tidak wajar. Bermacam respon pun diungkapkan mulai dari mengkritik usulan ini
dan ada pula yang mendukung sebagai upaya untuk mengurangi jumlah perokok aktif
di Indonesia karena upaya-upaya yang dilakukan sebelumnya terbukti kurang
berhasil mengurangi jumlah perokok di Indonesia yang semakin hari semakin
bertambah mulai dari anak remaja hingga orang tua dan dari beragam kalangan
sebab harga rokok yang murah dan mudah didapatkan.
Pendapat yang pro mengenai rencana ini datang
dari ketua DPR Ade Komarudin sebagaimana dilansir kompas.com, menurut Ade rokok
merupakan musuh bangsa yang sudah disadari semua orang dan ia yakin apabila
harga rokok naik akan dapat mengurangi kebiasaan masyarakat agar tidak merokok.
Hal senada juga diungkapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi
Pudjiastuti, Susi mengatakan, naiknya harga rokok akan berdampak positif bagi
kesehatan. “(harga) rokok naik bagus, biar orang merokoknya jadi kurang. Supaya
lebih sehat,” ujar Susi.
Jika harga rokok di tanah air meningkat, Susi
mengatakan bahwa momentum itu juga akan dimanfaatkan dirinya untuk mengurangi
konsumsi rokok demi penghematan dan kesehatan. Padahal Susi dikenal sebagai
perokok berat
Pendapat sebaliknya dikemukakan oleh Gerakan
Masyarakat Tembakau Indonesia (Gemati) menilai gagasan menaikkan harga rokok
hingga Rp 50 ribu per bungkus hanya akan menguntungkan produsen rokok. Rencana
ini dianggap tak menyentuh kepentingan petani tembakau sebagai penyuplai bahan
baku.
“Pabrik
yang diuntungkan, belum jaminan petani sejahtera karena belum tentu harga
tembakau ikut naik,” ujar Sekretaris Gerakan Masyarakat Tembakau Indonesia Syukur
Fahrudin.
Selain
itu pendapat sejenis datang dari Kepala Urusan Aturan, Perdagangan
Internasional dan Komunikasi Sampoerna, Elvira Lianita, menurutnya aspek yang
perlu diperhatikan sebelum menaikkan cukai rokok adalah semua mata rantai
industri tembakau yang meliputi petani, pekerja, pabrik, pedagang, hingga
konsumen. Ia meyakini kebijakan cukai yang terlalu tinggi akan mendorong
naiknya harga rokok menjadi mahal sehingga tidak sesuai dengan daya beli
masyarakat
Sebenarnya wacana tentang kenaikan harga rokok
menjadi Rp 50.000 berawal dari penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan
Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Studi yang diterbitkan di Jurnal Ekonomi
Kesehatan Indonesia itu mengkaji dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok
dan cukai untuk mendanai jaminan kesehatan nasional (JKN) – yang biasa dikenal
sebagai BPJS.
Berdasarkan survei terhadap 1.000 orang dari
22 provinsi dengan tingkat penghasilan di bawah Rp1 juta sampai di atas Rp20
juta, sebanyak 82% responden setuju jika harga rokok dinaikkan untuk mendanai
JKN. Peserta kemudian ditanyakan berapa harga rokok maksimal yang sanggup
dibeli dan sebanyak 72% menyatakan akan berhenti merokok jika harga satu
bungkus rokok di atas Rp50.000.
“Dengan menaikkan harga dua kali lipat, jumlah
rokok yang dikonsumsi akan turun tetapi jumlah uang yang beredar untuk rokok
tetap naik. Maka pemerintah menerima tambahan uang cukai sebesar Rp70 triliun,
itu cukup untuk menutup defisit JKN,” tutur penulis utama laporan itu,
Hasbullah Thabrany.
Hasbullah juga mengatakan bahwa hasil tersebut
konsisten dengan studi di negara-negara lain.
“Penelitian sebelumnya di Malaysia, Singapura,
Inggris, Australia menunjukkan kalau orang dihadapkan dengan kenaikan harga
rokok dua kali lipat maka konsumsinya turun 30%. Dalam ilmu ekonomi ini disebut
sebagai elastisitas demand,” jelas Hasbullah.
Meskipun demikian pemerintah sendiri tidak
serta merta menerima usulan ini tanpa memikirkan dampak lebih lanjut.
Pemerintah mengatakan bahwa cukai rokok selalu ditinjau ulang setiap tahun.
Sejumlah indikator menjadi pertimbangan, yakni kondisi ekonomi, permintaan
rokok, dan perkembangan industri rokok. Pemerintah melalui Kemendag masih akan
melihat lebih jauh rencana kenaikan tarif cukai rokok. Setelah diketahui besarannya,
barulah dampaknya bisa diperkirakan. Kementrian Perdagangan (Kemendag) belum
bisa memastikan seberapa besar dampak kenaikan cukai rokok terhadap kenaikan
harga rokok.
"Kalau naiknya hanya Rp 1.000 tidak ada
dampaknya. Kalau Rp 50.000 kita belum tahu, kan belum diputuskan," kata
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag)
Oke Nurwan.
Pemerintah sudah menargetkan pendapatan cukai
dalam RAPBN 2017 sebesar Rp 157,16 triliun atau naik 6,12 persen dari target
APBN Perubahan 2016 sebesar Rp 148,09 triliun.
Khusus untuk cukai hasil tembakau, ditargetkan
sebesar Rp 149,88 triliun atau naik 5,78 persen dari target APBNP 2016 sebesar
Rp 141,7 triliun.
Wacana tentang kenaikan harga rokok menjadi Rp
50.000 merupakan suatu polemik di Indonesia. Pemerintah dituntut untuk lebih
cermat dan bijak dalam memikirkan hal ini meskipun memiliki dampak positif
yaitu menambah pendapatan Negara dan mengurangi jumlah perokok aktif di
Indonesia pemerintah juga tidak bisa seta merta menyetujui. Tetapi masih harus
memahami dan memikirkan aspek –aspek lainnya.
Sumber: kompas.com
Bbc.com
No comments:
Post a Comment