Enam hari dalam seminggu dan delapan
jam sehari adalah jam kerja pekerja industri/buruh. Selama itu para buruh bekerja
tanpa henti, dengan peraturan yang ketat, upah yang rendah, ketiadaan jaminan
kesehatan, tak boleh mengobrol dengan buruh lain meskipun diberikan waktu
istirahat tetapi mereka gunakan untuk makan dan jika ada waktu lebih mereka
gunakan untuk beristirahat menyimpan sisa tenaga mereka daripada untuk
mengobrol, dan waktu pulang kerja pun mereka tak bisa bersosialisasi dengan
yang lain karena terlalu capek bekerja seharian waktu yang tersisapun digunakan
untuk beristirahat menyimpan tenaga untuk bekerja keesokan harinya agar badan
tidak terlalu capek dan tidak bangun kesiangan karena jika terlambat gaji akan
dipotong dengan nominal yang sangat besar. Itulah potret pekerjaan kaum buruh
tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Sejak masa Revolusi Industri
sampai sekarang keadaan para buruh diibaratkan seperti di atas bahkan ada yang
lebih parah dengan memperkerjakan anak-anak. Para penyair di Eropa juga
mengkritisi hal ini lewat karya Elizabeth Bareth dalam sajaknya “The Cry Of The Children”(1841) yang
berisi protes terhadap diperkerjakannya anak-anak sebagai buruh.
Sementara itu, Karl Max dalam
bukunya Das kapital menyebutkan bahwa keadaan ini disebut alienasi. Alienasi
adalah suatu keadaan dimana manusia dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang
tercipta oleh kreasinya sendiri, yang merupakan kekuatan yang melawan manusia
itu sendiri. Alienasi dalam bidang kerja mempunyai empat aspek yaitu:
1. Manusia
mengalami alienasi dari objek yang diproduksinya.
2. Manusia
mengalami alienasi dari proses produksi.
3. Manusia
teralienasi dari potensi dirinya sendiri.
4. Manusia
teralienasi dari lingkungan sekitar dan masyarakat.
Dalam
aktivitas industri, seorang buruh terasing dari barang produksinya sendiri
mungkin saja ia telah menghasilkan ribuan barang produksi tersebut selama
bertahun-tahun akan tetapi tidak mengenal barang tersebut bahkan tidak memiliki
hak atas barang tersebut. Demikian halnya dengan proses produksi, ia terfokus
akan beban kerja yang tinggi dan efisiensi yang diberikan oleh perusahaan demi
mendatangkan keuntungan yang banyak untuk perusahaan sehingga tak jarang
seorang buruh hanya peduli pada proses produksinya sendiri, taka da waktu untuk
berkomunikasi dengan yang lain karena akan menghambat produktifitasnya.
Disamping itu, para buruh juga terasing dari potensi diri sendiri. Dia tidak
bisa mengembangkan berbagai potensi yang ada dalam dirinya meskipun dia
memiliki berbagai potensi dalam dirinya. Terakhir, seorang buruh teralienasi
dari lingkungan sekitar dan masyarakat. Pekerjaan di pabrik sangat menguras
waktu dan tenaga terutama jika mendapat lembur, oleh karena itu ketika waktu
pulang kerja akan mereka gunakan untuk beristirahat sehingga tidak ada waktu
untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan bahkan tak peduli dengan lingkungan
sekitar. Kerja, bagi si pekerja itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat
eksternal. Dia tidak menemukan kepribadiannya dalam bekerja justru
mengingkarinya oleh sebab itu seorang buruh selalu tidak betah di tempat kerja,
selalu melihat waktu kapan ini berakhir, selalu senang saat waktu tenggang. Di
tempat kerjanya, seorang buruh tidak merdeka melainkan alat milik orang lain karena
perusahaan sudah memberikan upah.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa hubungan buruh dengan aktivitasnya sendiri adalah sesuatu yang
berlawanan. Sebagai sesuatu yang berlawanan dan bukan atas keinginannya sendiri
ia merasakannya sebagai suatu penderitaan. Sesungguhnya apabila hubungan
seseorang dengan kerjanya, hasil kerjanya dan dirinya sendiri baik maka
hubungannya dengan orang lain dan dirinya sendiri akan baik pula.
Sumber:
Hotman M. Siahaan. 1986. Pengantar ke arah sejarah dan teori sosiologi.
Jakarta. Erlangga.
No comments:
Post a Comment